Debat Jus vs. Buah
Muhammad Irvan
Muhammad Irvan
| 12-12-2024
Food Team · Food Team
Debat Jus vs. Buah
Belakangan ini, organisasi kesehatan global seperti Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mendorong masyarakat untuk mengonsumsi setidaknya 400 gram buah dan sayuran setiap hari.
Rekomendasi ini juga diadopsi dalam berbagai inisiatif, seperti rencana "5-sehari" yang dijalankan di banyak negara. Meski demikian, banyak orang kesulitan memenuhi target tersebut. Hal ini memunculkan pertanyaan: Apakah mengonsumsi jus dapat menjadi solusi untuk kekurangan asupan buah dan sayuran?
Para ahli kedokteran fungsional memiliki pandangan yang beragam tentang hal ini. Dr. David Perlmutter, yang terkenal dengan bukunya Grain Brain, memperingatkan terhadap konsumsi jus buah, terutama yang tidak mengandung serat. Menurutnya, konsentrasi gula dalam jus buah, terutama jus yang tidak mengandung serat dapat meningkatkan kadar gula darah dengan cara yang serupa dengan konsumsi minuman manis yang mengandung sirup jagung tinggi fruktosa. Ia menekankan pentingnya menghindari jus buah, termasuk yang baru diperas, karena dampak negatifnya terhadap kesehatan metabolik.
Di sisi lain, Dr. Tom O’Bryan, seorang pakar kedokteran fungsional lainnya, memiliki pandangan yang lebih positif mengenai beberapa jus buah. Ia menyebutkan jus delima sebagai contoh jus yang memiliki manfaat kesehatan, seperti kemampuannya dalam menyeimbangkan flora usus. Dari perspektif kedokteran fungsional, ia menyarankan konsumsi jus buah dalam jumlah moderat, dengan preferensi pada buah utuh kecuali ada alasan khusus yang membenarkan konsumsi jus.
Sebuah studi yang diterbitkan pada 2019 juga menyoroti tantangan dalam memenuhi rekomendasi asupan buah dan sayuran. Peneliti menemukan berbagai hambatan, seperti ketidaknyamanan dalam membeli dan menyiapkan produk-produk segar, serta kesulitan praktis lainnya yang mengurangi aksesibilitas buah dan sayuran. Dalam konteks ini, jus bisa menjadi alternatif yang nyaman bagi banyak orang, meskipun ada pertanyaan tentang seberapa efektif jus dalam menggantikan asupan buah dan sayuran secara keseluruhan.
Jus segar telah menjadi bagian penting dalam banyak program penurunan berat badan, khususnya di kalangan orang-orang yang peduli dengan kesehatan. Jus dianggap dapat menyederhanakan konsumsi nutrisi, menghemat waktu, dan mengurangi kebutuhan untuk menyiapkan makanan yang rumit. Selain itu, ada klaim bahwa jus membantu detoksifikasi tubuh dan mendukung penurunan berat badan.
Namun, tren jus juga telah memunculkan industri yang sangat menguntungkan, dengan pasar global untuk jus buah dan sayur yang mencapai nilai US$ 154 miliar pada tahun 2016. Industri ini terus berkembang pesat, yang mengindikasikan bahwa jus memiliki daya tarik yang besar sebagai minuman yang nyaman dan dianggap bermanfaat untuk kesehatan.
Debat Jus vs. Buah
Meskipun jus populer, ada kekhawatiran mengenai kandungannya yang tidak seimbang dibandingkan dengan buah utuh. Salah satu perbedaan utama antara jus dan buah utuh adalah kandungan serat. Seperti yang dijelaskan oleh Emma Elvin, seorang konsultan klinis senior di Diabetes UK, kehilangan serat dalam jus menyebabkan fruktosa berubah menjadi "gula bebas," yang mirip dengan gula tambahan yang ditemukan dalam makanan olahan. WHO merekomendasikan agar asupan gula untuk orang dewasa dibatasi hingga tidak lebih dari 30 gram per hari, yang setara dengan sekitar 150 ml jus. Hal ini menunjukkan pentingnya membedakan antara buah utuh dan jus dalam perencanaan diet sehari-hari.
Debat tentang jus buah terus berkembang. Sementara beberapa ahli mengakui manfaat kesehatan potensial dari jus tertentu, seperti jus delima, yang lain mengingatkan akan risiko konsumsi berlebihan karena tingginya kandungan gula dan rendahnya serat. Bagi Anda yang sedang mencoba untuk membuat pilihan diet yang lebih sehat, penting untuk mempertimbangkan baik manfaat maupun risiko konsumsi jus dalam konteks diet secara keseluruhan.